Angin semilir menusuk tulang –
tulangku seolah – olah ingin membalaskan suatu dendam. Kutengadahkan
kepala ke jendela, dengan agungnya awan
– awan putih menghiasi langit biru dan menimbulkan bentuk yang menawan hati.
Ditanganku ada sebuah pena yang terus menari diatas kertas putih. Kata demi
kata terukir sempurna. Penaku terus saja mempercantik tariannya seolah ingin
menyombongkan kepiawaiannya dalam hal itu. Tapi seketika tanganku mencegatnya
meminta untuk berhenti. Penapun merasa kecewa dan mulai menggerutu.
Aku berdiri menghadap kejendela,
daun kelapa terlihat sedang melambaikan tangannya memanggilku untuk bergabung
tapi akupun tahu diri, dunia kami berbeda. Aku terus saja memandang keluar,
penapun semakin menggerutu, dan katanya “Entah apa yang menarik diluar sana
hingga kau berani menghentikan tarianku”. Tapi ku tak peduli, kali ini angin
semilir itu sudah hampir tak ada, mungkin dendamnya sudah hilang pikirku.
Lamunanku seketika terhenti ketika
suara pintu kamarku di buka seseorang ternyata Astri, dia ingin mengajakku
keperpustakaan sepertinya akan lebih menyenangkan daripada disini pikirku . Disaat
pintu kamar akan kurapatkan terdengar samar – samar suara penaku “Cepat pulang,
tarianku belum selesai”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar